Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, March 5, 2007

Perempuan-Perempuan Perkasa Pemecah Batu



INI kisah tentang para perempuan perkasa di aliran Sungai Buluri, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Ya, para perempuan perkasa, sebab mereka adalah perempuan pemecah batu. Di saat beban kehidupan makin menghimpit mereka terus bergulat di bawah terik matahari Kota Palu yang menyengat, mencari sesuap nasi buat keluarganya. Sayang jeratan para calo pemesan batu menjerat mereka. Sementara tidak ada yang mampu mendengar jeritan derita mereka.

Perempuan-perempuan pemecah batu itu hidup di bawah himpitan beban ekonomi dan jeratan para calo. Bayangkan saja, mereka harus bekerja mulai pukul 05.30 pagi sampai pukul 17.30 petang setiap hari.

Harga kebutuhan pokok, utamanya beras, misalnya benar-benar membuat mereka makin menderita. Terkadang keluarganya terpaksa hanya makan talebe, penganan tradisional yang terbuat dari beras dicampur tepung jagung, yang kandungan tepung jagungnya lebih banyak.

Salah seorang di antaranya adalah Halidja. Ibu satu anak ini mengaku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak tanah dan kebutuhan pokok lainnya sangat sulit. Apalagi pendapatan sehari-harinya sebagai pemecah batu tentu tak bisa menutupi kebutuhan keluarganya. Sementara harga beras saja sudah mencapai Rp 5000 per liter. Coba bandingkan dengan pendapatkan mereka yang hanya Rp 6000 –Rp 7000 per minggu. Artinya dalam sehari hanya mendapat Rp10.000. Itupun jika banyak pesanan dari pemborong bangunan. Bayangkan jika dalam seminggu tidak ada pesanan, jadilah batu-batu yang mereka kumpulkan teronggok percuma.

Simak penuturan Halidja, perempuan berusia 38 tahun ini, tentang beban ekonomi yang menghimpit kehidupannya:

“Coba lihat batu-batu itu, sudah seminggu tidak ada yang ambil. Tapi saya sabar saja sampai ada yang membelinya,” aku Halidjah.

Perempuan paruh baya itu mengaku sudah bekerja sebagai pemecah batu sejak dari tahun 1985 hingga sekarang. Keinginannya untuk merubah nasib sudah pernah ia lakukan, semisal dengan menjual ikan di pasar tradisional terbesar di Kota Palu, namun sayang ia selalu tergusur oleh penjual besar. Akhirnya ia kembali lagi sebagai pemecah batu.

Soal makan talebe juga diceritakan perempuan ini. Ia membuat talebe jika tidak mampu membeli beras.

“Kalau dijadikan talebe, kita bisa menghemat pengeluaran untuk membeli beras, karena harga tepung jagung hanya Rp 2.000 per kilogram. Kalau ada uang lebih saya juga beli jagung pipil supaya talebenya lebih enak dimakan,” tuturnya, sambil sesekali memecah batu di depannya.

Sementara suaminya, Amin, 58 tahun yang bekerja sebagai buruh bangunan pendapatannya tentu tak seberapa.

Kisah serupa juga dialami Aida, 45 tahun. Perempuan pemecah batu itu juga mengaku kesulitan membeli kebutuhan hidup sehari-harinya, utamanya beras yang harganya makin melambung.

Saat ditemui di sebuah siang yang terik ia terlihat marah-marah kepada pemesan batu yang berhari-hari tidak mau mengambil batu-batu yang sudah dipecahkanya dengan susah payah.

“Mereka ini keterlaluan, sudah berapa hari batu saya tidak diambil. Ini karena ada calo-calonya,” kata Aida.

Soal calo, ada cerita dari Halidjah. Katanya para calo ini memungut Rp 10 ribu jika mereka ingin batunya dibeli oleh pemesan. Jika tidak mau mengeluarkan uang semacam jatah preman itu, mereka bakal pulang gigit jari dengan kantong kosong.

“Kami terpaksa menerima saja, soalnya mereka kenal banyak dengan para pemesan batu, sementara kami cuma tahu memecah batu lalu menjualnya,” ungkap Halidjah.

Di tengah kondisi itulah mereka makin menderita. Hidup di antara himpitan ekonomi dan jeratan para calo pemesan batu sementara mereka tak tahu hendak mengadu ke mana. Adakah Anda bisa merasakan derita mereka?***

0 comments: